Selera makan erat kaitannya dengan hawa nafsu. Hawa nafsu kalau dituruti tidak akan pernah ada habisnya dan sering tidak masuk akal. Padahal kalau dipikir tujuan orang makan yang benar adalah untuk memenuhi kebutuhan tubuh agar tetap sehat, tetap dapat menjalankan segala aktifitas, baik fisik maupun psikis. Pertimbangan logis orang harus makan ini dan itu adalah karena apa yang dibutuhkan oleh tubuh.
Bila yang dilakukan adalah berdasarkan selera, maka repotlah kalau kita berada di negeri orang. Hampir semua makanan di sini tidak ada yang mirip-mirip dengan makanan di kampung, apalagi yang persis sama. Tentu tidak ada yang sesuai selera. Di sini tidak ada tempe goreng, apalagi tempe bacem. Di Madinah ada juga tempe goreng, yaitu di math’am Indonesia di dekat Masjid Nabawi. Namun habislah gaji kita kalau setiap hari harus makan ala makanan Indonesia, karena mahalnya. Padahal kalau cukup makan apa yang disediakan oleh majikan yang umum dimakan oleh orang Arab, maka kita tidak harus keluar uang. Perut kenyang gaji utuh.
Padahal makanan kita di kampung belum tentu memenuhi kebutuhan tubuh jika kita makan di tempat yang iklimnya jauh berbeda dengan iklim di kampung. Di negeri sendiri saja ketika kita tinggal di daerah pantai yang hawanya panas, kadang-kadang setengah piring nasi sudah kenyang. Beda halnya ketika kita menengok kerabat yang tinggal di daerah pegunungan yang hawanya sejuk satu setengah piring rasanya belum kenyang. Begitu pula, misalnya di Timur Tengah, negeri dengan iklim extrim, bila dingin hampir mendekati nol derajat celsius, bila panas bisa 45 derajat celsius lebih, tentu jenis makanannya berbeda dengan negeri kita yang beriklim sedang dan lembab. Makanan di sini cenderung berlemak dan kecut, asam dan hampir setiap hari harus makan daging dan daging, roti dan roti. Nasi hanya sekali. Rasanya pun aneh, berlemak dan berbumbu, bahkan kadang-kadang dicampur laban (sejenis yogurt). Di sini sering sarapan hanya dengan syahi bil halib (teh susu) dan sepotong roti, tetapi rasanya sudah kenyang. Cukup sampai jam makan siang tiba.
Masalah selera jika dituruti tida pernah ada habisnya. Di warteg kita sudah cukup kenyang dengan Rp 7.000,- nasi sayur pakai telor. Sebaliknya di restoran Jepang, sekali makan bisa ratusan ribu rupiah belum tentu kenyang perut kita.
Kalau kita mau kerasan tinggal di negeri orang maka kita harus bida beradaptasi, khususnya soal makan. Apa yang umumnya dimakan oleh penduduk setempat itu pula yang kita makan. Sekali dua kali memang rasanya aneh, asem-asem gimana gitu, tetapi lama-lama jadi terasa lezat juga. Sudahlah lupakan masalah selera, kalau kita benar-benar ingin hidup di negeri orang. Yang penting tidak kelaparan dan cukup kuat untuk kerja. Nanti kalau sudah habis kontrak, pulang kampung, bolehlah kita memilih makanan kegemaran kita itu sekenyang-kenyangnya. Kalau sekarang ya nikmati saja apa yang ada tidak usah mengada-ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar